Selasa, 26 Maret 2013

Rasulullah dan Wilayah Nusantara


Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

nusantaraSalah satu penjelasan yang cukup menarik di dalam buku terbaru Syed M. Naquib Al-Attas Historical Fact and Fiction adalah ulasannya mengenai hubungan Nabi Saw. dengan wilayah Nusantara, terutama wilayah Sumatra. Memang belum pernah ditemukan hadis atau keterangan apapun yang mengindikasikan Nabi Saw. pernah menginjakkan kakinya di wilayah ini. Akan tetapi, analisis Al-Attas adalam bukunya ini menunjukkan sudah ada persentuhan Nabi Saw. dengan mengenal wilayah ini. Bagaimana penjelasan Al-Attas? Berikut ulasan dan komentar atasnya.
Persentuhan Nabi Saw. dengan wilayah Nusantara ini menurut Al-Attas ditemukan dalam Hikayat Raja Pasai, sebuah naskah tradisional yang dipercayai berasal dari abad ke-14 M. Dalam hikayat itu diceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menganjurkan para sahabatnya untuk menyebarkan Islam ke suatu tempat yang bernama Samudra. Samudra yang dimaksud adalah salah satu wilayah di Pulau Sumatra.
Untuk memverifikasi apakah sungguh-sungguh Nabi Saw. sudah mengenal nama Samudra(Sumatra) dan pernah menyuruh sahabatnya untuk pergi ke sana memang akan menemui kesulitan apabila harus ditelusuri secara ilmu hadis. Al-Attas sendiri tidak berhasil menemukan data dari mana hadis yang dinukil Hikayat Raja Pasai tersebut didapat. Setelah secara singkat dicari secara elektronik pada Maktabah Syâmilah, sama sekali tidak ditemukan hadis atau keterangan apapun dalam berbagai kitab kumpulan hadis seperti yang terdapat dalam Hikayat di atas.  Sangat besar kemungkinan datanya memang benar-benar tidak ada. Artinya Rasulullah Saw. tidak pernah menyuruh sahabatnya untuk mendatangi salah satu tempat di kawasan Nusantara ini.
Namun demikian, Al-Attas kemudian mencoba membangun argumennya melalui cara lain, yaitu menggunakan ungkapan-ungkapan semantis di dalam Al-Quran. Ia menunjuk salah satu kata di dalam surat Al-Insân ayat 5, yaitu kata kâfûrâ. Menurut Al-Attas, istilah ini dapat menjadi petunjuk bahwa Nabi Saw. sudah cukup mengenal baik wilayah Nusantara. Kâfûr (kamper atau kapur barus) menurut Al-Attas adalah salah satu produk unggulan dari Timur jauh yang sudah dikenal baik oleh masyarakat Arab pada masa Nabi Saw., bahkan jauh sebelumnya. Telah dikenal pula bahwakâfûr  terbaik berasal dari Fansûr (Barus), suatu daerah di pantai barat Sumatra yang sekarang termasuk wilayah Sumatera Utara.
Istilah kâfûr sendiri disinyalir Al-Attas berasal dari bahasa Arab kafara yang artinya “tertutup” atau “menutup” (to cover). Dinamakan demikian, karena bahan kâfûr (kapur barus) adalah getah pohon yang berada di balik kulitnya hingga tertutup dari pandangan manusia. Untuk mendapatkan getahnya, terlebih dahulu kulitnya harus disingkap. Oleh sebab itu, kemudian dinamakanlah produk ini dalam bahassa melayu sebagai “kapur” sebagai adaptasi dari istilah yang diberikan oleh orang Arab kâfûr. Karena kapur terbaik berasal dari Barus, maka kemudian produk ini di kawasan Melayu lebih dikenal dengan istilah “kapur barus”. Seperti umum diketahui, kapur barus (kâfûr) digunakan sebagai wewangian.
Apabila analisis ini benar, maka hampir bisa dipastikan bahwa pada zaman Nabi Saw. wilayah Sumatra sudah dikenal baik sampai ke negeri Arab sana. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa Nabi Saw. pun sudah mengenalnya. Oleh sebab itu, bila ada berita bahwa Beliau menganjurkan kepada sahabatnya untuk menyebarkan Islam ke kawasan ini seperti yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai menjadi masuk akal. Atas dasar ini Al-Attas masih menyimpan dugaan bahwa bisa jadi cerita dalam Hikayat itu benar, sekalipun sampai saat ini riwayat terpercaya dari sumber Arab sezaman belum ditemukan.
Di sinilah kerumitan terjadi. Penjelasan istilah kâfûr dalam Al-Quran versi Al-Attas di atas tidak banyak diamini oleh para mufassir dan analis bahasa Arab lainnya. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassir tentang apa yang disebut kâfûr ini. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud memang sejenis wewangian seperti yang dikenal umum. Akan tetapi mufassir lain berpendapat bahwa kâfûr yang dimaksud dalam ayat itu adalah nama diri (proper name) sebuah mata air di surga sebagaimana ditafsirkan oleh ayat berikutnya (Al-Insân ayat 6). Menurut versi ini Kâfûr bukan sejenis wewangian. (lihat: Tafsîr Al-Thabârî juz. 24 hal. 93; Tafsîr Ibn Kâtsîr juz 8 hal. 287; dan Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr juz 15 hal. 463-464; Mufradât Alfâzh Al-Qurân hal. 350 entrika-fa-ra, Lisân Al-‘Arab juz 5 hal. 144 entri ka-fa-ra).
Seandainya yang dipilih dari tafsir di atas adalah makna pertama, yaitu sejenis wewangian, persoalan berikutnya adalah mengenai jenis dan muasal wewangian ini. Sejauh ini, belum adamufassir yang menjelaskan secara rinci dari manakah produk wewangian ini berasal. Hanya Thohir ibn Asyur, mufassir Mesir kontemporer, dalam Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr (juz. 15 hal. 463) yang memberikan penjelasan agak panjang mengenai identitas kâfûr ini. Menurutnya, “Kâfûr adalah sejenis minyak yang diambil dari pohon yang bunganya seperti mawar. Pohon ini tumbuh di Cina dan Jawa. Pohon ini dapat diproduksi (menjadi wewangian) apabila sudah berumur lebih kurang 200 tahun. Kayunya dipanaskan kemudian diambil minyaknya yang disebur kâfûr.
Keterangan Thohir ibn Asyur di atas cukup menarik. Ia menyebut langsung tempat asal kâfûr,yaitu Cina dan Jawa. Bila yang dimaksud “Jawa” adalah pulau Jawa tentu tidak tepat, karena Jawa tidak dikenal sebagai penghasil kapur barus. Sangat mungkin bahwa yang dimaksud “Jawa” olehmufassir ini adalah kawasan Melayu atau Asia Tenggara. Dalam berbagai sumber sejarah, orang-orang Arab sampai awal abad ke-20 menyebut orang-orang Melayu yang datang atau bermukim di Arab sebagai “orang Jawa” tidak peduli apakah dia dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bima, Semenajung Malaysia, atau dari kawasan manapun di Asia Tenggara. Oleh sebab itu, bila dispesifikkan sangat mungkin yang dimaksud Thohir ibn Asyur adalah Barus di Sumatra.
Bila penjelasan ini benar, cukup masuk akal apabila disimpulkan bahwa Sumatra (Nusantara) memang sudah dikenal baik oleh Nabi Saw. Cukup masuk akal juga apabila Rasulullah Saw. yang dikenal memiliki pengetahuan geopolitik yang baik menganjurkan kepada para sahabatnya untuk datang ke wilayah ini, sekalipun untuk ini dibutuhkan kerja ekstra keras menemukan hadisatau atsar yang mengisyaratkan perintah Nabi Saw. di atas. Dan apabila ini benar, semakin kuatlah argumen yang menyatakan bahwa Islam telah tersebar di Indonesia sejak abad ke-7 seperti ditemukan dalam catatan dari zaman Dinasti Tang (671) yang menyebut bahwa di Pantai Barat Sumatra telah ditemukan pemukiman orang-orang Arab yang penguasanya adalah dari kalangan mereka sendiri (Arab). Wallâhu A‘lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar