Selasa, 26 Maret 2013

Rasulullah dan Wilayah Nusantara


Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

nusantaraSalah satu penjelasan yang cukup menarik di dalam buku terbaru Syed M. Naquib Al-Attas Historical Fact and Fiction adalah ulasannya mengenai hubungan Nabi Saw. dengan wilayah Nusantara, terutama wilayah Sumatra. Memang belum pernah ditemukan hadis atau keterangan apapun yang mengindikasikan Nabi Saw. pernah menginjakkan kakinya di wilayah ini. Akan tetapi, analisis Al-Attas adalam bukunya ini menunjukkan sudah ada persentuhan Nabi Saw. dengan mengenal wilayah ini. Bagaimana penjelasan Al-Attas? Berikut ulasan dan komentar atasnya.
Persentuhan Nabi Saw. dengan wilayah Nusantara ini menurut Al-Attas ditemukan dalam Hikayat Raja Pasai, sebuah naskah tradisional yang dipercayai berasal dari abad ke-14 M. Dalam hikayat itu diceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah menganjurkan para sahabatnya untuk menyebarkan Islam ke suatu tempat yang bernama Samudra. Samudra yang dimaksud adalah salah satu wilayah di Pulau Sumatra.
Untuk memverifikasi apakah sungguh-sungguh Nabi Saw. sudah mengenal nama Samudra(Sumatra) dan pernah menyuruh sahabatnya untuk pergi ke sana memang akan menemui kesulitan apabila harus ditelusuri secara ilmu hadis. Al-Attas sendiri tidak berhasil menemukan data dari mana hadis yang dinukil Hikayat Raja Pasai tersebut didapat. Setelah secara singkat dicari secara elektronik pada Maktabah Syâmilah, sama sekali tidak ditemukan hadis atau keterangan apapun dalam berbagai kitab kumpulan hadis seperti yang terdapat dalam Hikayat di atas.  Sangat besar kemungkinan datanya memang benar-benar tidak ada. Artinya Rasulullah Saw. tidak pernah menyuruh sahabatnya untuk mendatangi salah satu tempat di kawasan Nusantara ini.
Namun demikian, Al-Attas kemudian mencoba membangun argumennya melalui cara lain, yaitu menggunakan ungkapan-ungkapan semantis di dalam Al-Quran. Ia menunjuk salah satu kata di dalam surat Al-Insân ayat 5, yaitu kata kâfûrâ. Menurut Al-Attas, istilah ini dapat menjadi petunjuk bahwa Nabi Saw. sudah cukup mengenal baik wilayah Nusantara. Kâfûr (kamper atau kapur barus) menurut Al-Attas adalah salah satu produk unggulan dari Timur jauh yang sudah dikenal baik oleh masyarakat Arab pada masa Nabi Saw., bahkan jauh sebelumnya. Telah dikenal pula bahwakâfûr  terbaik berasal dari Fansûr (Barus), suatu daerah di pantai barat Sumatra yang sekarang termasuk wilayah Sumatera Utara.
Istilah kâfûr sendiri disinyalir Al-Attas berasal dari bahasa Arab kafara yang artinya “tertutup” atau “menutup” (to cover). Dinamakan demikian, karena bahan kâfûr (kapur barus) adalah getah pohon yang berada di balik kulitnya hingga tertutup dari pandangan manusia. Untuk mendapatkan getahnya, terlebih dahulu kulitnya harus disingkap. Oleh sebab itu, kemudian dinamakanlah produk ini dalam bahassa melayu sebagai “kapur” sebagai adaptasi dari istilah yang diberikan oleh orang Arab kâfûr. Karena kapur terbaik berasal dari Barus, maka kemudian produk ini di kawasan Melayu lebih dikenal dengan istilah “kapur barus”. Seperti umum diketahui, kapur barus (kâfûr) digunakan sebagai wewangian.
Apabila analisis ini benar, maka hampir bisa dipastikan bahwa pada zaman Nabi Saw. wilayah Sumatra sudah dikenal baik sampai ke negeri Arab sana. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa Nabi Saw. pun sudah mengenalnya. Oleh sebab itu, bila ada berita bahwa Beliau menganjurkan kepada sahabatnya untuk menyebarkan Islam ke kawasan ini seperti yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai menjadi masuk akal. Atas dasar ini Al-Attas masih menyimpan dugaan bahwa bisa jadi cerita dalam Hikayat itu benar, sekalipun sampai saat ini riwayat terpercaya dari sumber Arab sezaman belum ditemukan.
Di sinilah kerumitan terjadi. Penjelasan istilah kâfûr dalam Al-Quran versi Al-Attas di atas tidak banyak diamini oleh para mufassir dan analis bahasa Arab lainnya. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassir tentang apa yang disebut kâfûr ini. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud memang sejenis wewangian seperti yang dikenal umum. Akan tetapi mufassir lain berpendapat bahwa kâfûr yang dimaksud dalam ayat itu adalah nama diri (proper name) sebuah mata air di surga sebagaimana ditafsirkan oleh ayat berikutnya (Al-Insân ayat 6). Menurut versi ini Kâfûr bukan sejenis wewangian. (lihat: Tafsîr Al-Thabârî juz. 24 hal. 93; Tafsîr Ibn Kâtsîr juz 8 hal. 287; dan Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr juz 15 hal. 463-464; Mufradât Alfâzh Al-Qurân hal. 350 entrika-fa-ra, Lisân Al-‘Arab juz 5 hal. 144 entri ka-fa-ra).
Seandainya yang dipilih dari tafsir di atas adalah makna pertama, yaitu sejenis wewangian, persoalan berikutnya adalah mengenai jenis dan muasal wewangian ini. Sejauh ini, belum adamufassir yang menjelaskan secara rinci dari manakah produk wewangian ini berasal. Hanya Thohir ibn Asyur, mufassir Mesir kontemporer, dalam Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr (juz. 15 hal. 463) yang memberikan penjelasan agak panjang mengenai identitas kâfûr ini. Menurutnya, “Kâfûr adalah sejenis minyak yang diambil dari pohon yang bunganya seperti mawar. Pohon ini tumbuh di Cina dan Jawa. Pohon ini dapat diproduksi (menjadi wewangian) apabila sudah berumur lebih kurang 200 tahun. Kayunya dipanaskan kemudian diambil minyaknya yang disebur kâfûr.
Keterangan Thohir ibn Asyur di atas cukup menarik. Ia menyebut langsung tempat asal kâfûr,yaitu Cina dan Jawa. Bila yang dimaksud “Jawa” adalah pulau Jawa tentu tidak tepat, karena Jawa tidak dikenal sebagai penghasil kapur barus. Sangat mungkin bahwa yang dimaksud “Jawa” olehmufassir ini adalah kawasan Melayu atau Asia Tenggara. Dalam berbagai sumber sejarah, orang-orang Arab sampai awal abad ke-20 menyebut orang-orang Melayu yang datang atau bermukim di Arab sebagai “orang Jawa” tidak peduli apakah dia dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bima, Semenajung Malaysia, atau dari kawasan manapun di Asia Tenggara. Oleh sebab itu, bila dispesifikkan sangat mungkin yang dimaksud Thohir ibn Asyur adalah Barus di Sumatra.
Bila penjelasan ini benar, cukup masuk akal apabila disimpulkan bahwa Sumatra (Nusantara) memang sudah dikenal baik oleh Nabi Saw. Cukup masuk akal juga apabila Rasulullah Saw. yang dikenal memiliki pengetahuan geopolitik yang baik menganjurkan kepada para sahabatnya untuk datang ke wilayah ini, sekalipun untuk ini dibutuhkan kerja ekstra keras menemukan hadisatau atsar yang mengisyaratkan perintah Nabi Saw. di atas. Dan apabila ini benar, semakin kuatlah argumen yang menyatakan bahwa Islam telah tersebar di Indonesia sejak abad ke-7 seperti ditemukan dalam catatan dari zaman Dinasti Tang (671) yang menyebut bahwa di Pantai Barat Sumatra telah ditemukan pemukiman orang-orang Arab yang penguasanya adalah dari kalangan mereka sendiri (Arab). Wallâhu A‘lam.

Dasar Aqidah Syi’ah; Menghina Sahabat


Syi’ah arti asalnya ‘kelompok’. Syi’ah menyatakan dirinya sebagai Syi’ah ‘Ali dan Ahlul-Bait. Maka dari itu, Jalaluddin Rakhmat misalnya mempopulerkan istilah Madzhab Ahlul Bait, sebagai istilah baru bagi Syi’ah yang sudah kadung dipersepsikan negatif di Indonesia.[1]

syiah_sesat_rasilFMSyi’ah itu sendiri, menurut as-Syahrastani adalah kelompok yang fanatik kepada ‘Ali dan menyatakan bahwa ‘Ali adalah satu-satunya khalifah dan imam pengganti Rasulullah saw. Hak khilafah untuk ‘Ali ini berlaku juga untuk keturunan-keturunannya. Kalaupun di antara mereka ada yang tidak menjadi khalifah maka itu disebabkan dizhalimi oleh pihak lain atau taqiyyah dari para imam tersebut. Imamah bagi Syi’ah bukan dipilih oleh umat, melainkan wasiat dari Nabi saw untuk ‘Ali dan keturunannya.[2]
Nama lainnya adalah Rafidlah, arti asalnya meninggalkan. Ditujukan kepada Syi’ah yang terang-terangan menolak ajakan Zaid ibn ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali untuk mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan ‘Umar dan jangan menghina kedua shahabat tersebut. Akan tetapi kelompok ini tetap dengan pendapatnya bahwa kedua shahabat tersebut tercela, bahkan menyamaratakannya kepada semua shahabat. Dari sejak itulah, Rafidlah dikenal sebagai nama lain dari Syi’ah, dan mulai tersebar penamaan ini pada tahun 122 H.[3]
Konsekuensi dari keyakinan bahwa ‘Ali dan keturunannya yang berhak menjadi khalifah adalah membenci dan menghina para shahabat radliyal-‘Llahu ‘anhum secara keseluruhan karena diyakini sudah merampas atau membiarkan perampasan hak khilafah dari ‘Ali dan keturunannya. Padahal shahabat adalah sumber ilmu. Ilmu dari Nabi saw tentang al-Qur`an, sunnah, dan semua aspek ajaran Islam, salurannya melalui shahabat radliyal-‘Llahu ‘anhum. Ketika shahabat tidak diakui otoritasnya, maka otomatis Syi’ah meninggalkan sunnah, menyimpang dalam memahami al-Qur`an, Islam, dan terjebak pada bid’ah-bid’ah yang mereka buat sendiri. Inilah yang dimaksud dasar aqidah Syi’ah dalam tulisan ini.
Dr. Nashir ibn ‘Ali ‘Aidl Hasan dalam salah satu kitabnya, ‘Aqidah Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah fis-Shahabah al-Kiram, menguraikan penghinaan-penghinaan Syi’ah kepada para shahabat sebagai berikut:
Pertama, meyakini sebagian besar para shahabat sudah murtad. Al-Kulaini misalnya meriwayatkan pernyataan Abu Ja’far:
اِرْتَدَّ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ r إِلاَّ ثَلاَثَةً وَهُمُ الْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْ ذَرٍّ
Orang-orang murtad sesudah Nabi saw (wafat) kecuali tiga orang yaitu Miqdad, Salman dan Abu Dzar.[4]
Al-Kulaini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab biografi tokoh Syi’ah, adalah seorang tokoh besar yang pendapatnya bisa dijadikan rujukan, seorang yang paling tsiqah (terpercaya) dan tsabit (kuat) dalam hadits (autsaqun-nas fil-hadits wa atsbatuhum), dan telah menyusun kitab hadits al-Kafiselama 20 tahun. Meninggal di Badghdad pada tahun 328 H.[5] Kitabnya, al-Ushul minal-Kafi atau lebih dikenal al-Kafi merupakan kitab hadits utama bagi sekte Syi’ah yang berisi 16.990 hadits. Kitabnya ini merupakan kitab rujukan utama bagi Syi’ah di samping tiga kitab lainnya, yaitu: Man La Yahdluruhul-Faqih berisi 5963 hadits, al-Istibshar berisi 5511 hadits, at-Tahdzib berisi 13590 hadits.[6] Artinya, pendapat murtadnya shahabat ini sudah menjadi keyakinan utama karena berdasar pada riwayat-riwayat yang shahih menurut Syi’ah.
Di antara dalil hadits shahih dari kitab Ahlus-Sunnah yang dijadikan dasar keyakinan murtadnya shahabat ini adalah hadits berikut:
… Lalu ada segolongan dari sahabatku yang akan diculik dari arah kiri lalu aku katakan: “Itu shahabatku, itu shahabatku”. Maka Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mereka menjadi murtad sepeninggal kamu”. Aku pun berkata sebagaimana ucapan hamba yang shalih (dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[QS. Al-Ma`idah [5] : 117-118]).[7]
Konsekuensinya, dalam hal periwayatan agama (tafsir dan hadits), para shahabat tidak bisa dijadikan rujukan. Syarafuddin al-Musawi, salah seorang tokoh Syi’ah, misalnya menyatakan tidak setuju jika semua shahabat dinilai ‘adil (berakhlaq mulia dan bisa dipercaya sebagai rujukan agama): “Pendapat bahwa shahabat semuanya adil sama sekali tidak ada dalilnya. Seandainya al-Qur`an dikaji pasti akan ditemukan ayat-ayat yang menyebut ada orang-orang munafiq di antara shahabat. dalam hal ini surat at-Taubah dan al-Ahzab sudah cukup menginformasikannya.”[8]
Murtadla al-‘Askari, tokoh Syi’ah lainnya, mengatakan: “Dalam hal ‘adalah/’adil, kami memandang bahwa shahabat itu ada yang mukmin adil berbakti lagi bertaqwa sebagaimana sanjungannya ditemukan dalam al-Qur`an, tetapi jelas juga ada di antara mereka yang munafiq sesuai firman-Nya: Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka (QS. at-Taubah [9] : 101).[9]
Kedua, para shahabat menurut Syi’ah adalah orang-orang yang berani meninggalkan Rasulullah saw ketika beliau berkhutbah Jum’at karena mendahulukan kepentingan dunia. Ini diabadikan dalam firman-Nya:
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.[10]
Ketiga, para shahabat juga orang-orang yang berani melarikan diri dari medan perang, tepatnya perang Uhud dan Hunain. Padahal perbuatan tersebut termasuk dosa besar yang tujuh dan dilarang tegas oleh Allah swt dalam QS. al-Anfal [8] : 15. Dua ayat al-Qur`an menginformasikan perbuatan bejat para shahabat tersebut dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 155 dan at-Taubah [9] : 25-26.[11]
Keempat, shahabat disebut oleh Rasulullah saw sebagai orang-orang yang gila dunia.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ رَسُولِ اللهِ r أَنَّهُ قَالَ إِذَا فُتِحَتْ عَلَيْكُمْ فَارِسُ وَالرُّومُ أَىُّ قَوْمٍ أَنْتُمْ. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ نَقُولُ كَمَا أَمَرَنَا اللهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ تَتَنَافَسُونَ ثُمَّ تَتَحَاسَدُونَ ثُمَّ تَتَدَابَرُونَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُونَ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ ثُمَّ تَنْطَلِقُونَ فِى مَسَاكِينِ الْمُهَاجِرِينَ فَتَجْعَلُونَ بَعْضَهُمْ عَلَى رِقَابِ بَعْضٍ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, dari Rasulullah saw, bahwasanya beliau bersabda: “Apabila Persia dan Romawi dikalahkan untuk kalian, kaum yang seperti apakah kalian?” ‘Abdurrahman ibn ‘Auf menjawab: “Kami akan melakukan pada yang telah diperintahkan Allah.” Rasulullah saw menimpali:“Ataukah tidak seperti itu; kalian saling berlomba dunia, kemudian saling hasud, kemudian saling membelakangi, kemudian saling benci, atau semacamnya, kemudian kalian pergi ke tempat orang-orang miskin Muhajirin, lalu kalian mengangkat sebagian mereka sebagai pemimpin untuk sebagiannya.”[12]
Kelima, shahabat adalah orang yang sudah menyakiti ‘Ali karena tidak memberinya hak khalifah. Padahal Nabi saw bersabda:
مَنْ آذَى عَلِيًّا فَقَدْ آذَانِي
Siapa yang menyakiti ‘Ali maka sungguh ia telah menyakitiku.[13]
Bantahan dan Kritik
Menyebut para shahabat sebagian besarnya murtad jelas melanggar prinsip ajaran Islam yang menjamin shahabat teguh dalam kebenaran, teguh dalam sunnah dan menjauhi bid’ah.[14] Ayat-ayat al-Qur`an banyak yang menyebutkan dengan tegas jaminan tersebut, di antaranya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.[15]
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,[16]
(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan (keberatan) dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.[17]
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[18]
Ayat-ayat di atas memang tidak sampai menjamin ‘ishmah (terbebas dari dosa) para shahabat. Akan tetapi ayat di atas jelas menjamin bahwa dalam urusan berkorban demi agama, memperjuangkan dan mempertahankan agama, para shahabat sudah terjamin kejujuran dan loyalitasnya. Maka dari itu qaidah yang dirumuskan Ahlus-Sunnah bukan “Para shahabat semuanya ma’shum”, tetapi “Para shahabat semuanya ‘adil”. ‘Adil itu konteksnya kejujuran dalam menjaga dan mengajarkan agama. Dan dari qaidah ini yang dituju as-Shahabah; shahabat secara keseluruhan. Artinya tidak mustahil ada orang perorang shahabat yang berbuat keliru dan salah, tetapi mustahil shahabat yang lain membiarkannya tanpa amar ma’ruf nahyi munkar. Sehingga dari fakta ini diketahui bahwa jika ada sesuatu terjadi di zaman shahabat yang diketahui tidak ada pengingkaran dari sesama shahabat, maka itu pertanda shahabat secara keseluruhan menyetujuinya (ijma’ sukuti). Persetujuan shahabat itu pertanda kebenaran, sebab mustahil shahabat menyetujui kesalahan. Di sinilah berlakunya qaidah: “Para shahabat semuanya ‘adil”.
Firman Allah swt dalam QS. At-Taubah [9] : 117: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan,menunjukkan bahwa para shahabat adakalanya keliru dan bersalah. Akan tetapi secara keseluruhan sudah diterima taubatnya. Ayat ini turun setelah selesai perang Tabuk tahun 9 H, peperangan terakhir Nabi saw dan para shahabat, jauh sesudah perang Uhud dan dan satu tahun sesudah perang Hunain. Apalagi jika diukurkan pada peristiwa awal Jum’atan sebagaimana dimaksud dalam QS. al-Jumu’ah [62] : 11 yang turun di masa-masa awal hijrah. Maka dari itu vonis sesat untuk shahabat dengan merujuk pada perang Uhud, Hunain, dan peristiwa Jum’at di awal hijrah tidak tepat lagi, karena Allah swt pun sudah menerima taubat Muhajirin, Anshar, dan shahabat lainnya yang ikut perang Tabuk.
Pembatasan taubat dalam ayat di atas pada “orang-orang yang ikut perang Tabuk” perlu diperhatikan karena itu menunjukkan ada di antara penduduk Madinah yang memilihnifaq/munafiq dengan tidak mengikuti perang. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah swt dalam QS. At-Taubah [9] : 101. Jadi maksud ayat ini sama sekali tidak tertuju pada shahabat yang ikut perang Tabuk, melainkan mereka yang munafiq dan tidak ikut perang Tabuk.
Terkait hadits adanya shahabat yang dipisahkan jauh dari Nabi saw di hari kiamat karena murtad, jelas itu bukan shahabat Nabi saw. Yang benar mereka adalah orang-orang munafiq atau yang baru masuk Islam yang kemudian mengganti agamanya, atau mengubah dan menambah-nambah ajaran pokok Islam, sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab al-fitan bab ma ja`a fi qaulil-‘Llah wa-ttaqu fitnatan. Para shahabat jelas jauh dari sifat-sifat itu semua. Mustahil para shahabat bersepakat dalam kemurtadan atau pengubahan ajaran pokok Islam. Allah swt sendiri yang memberi jaminannya. Adapun penyebutan Nabi saw: “Itu shahabatku, itu shahabatku,” tidak berarti ada shahabat yang murtad, karena dalam riwayat lain Nabi saw bersabda: “Itu umatku, itu umatku.” Artinya “shahabat” yang Nabi saw sebutkan dalam hadits tersebut bukan shahabat Muhajirin dan Anshar, melainkan shahabat secara bahasa yang maknanya sama dengan umat, yakni pengikut. Jadi bukan ada shahabat Nabi saw yang murtad, melainkan ada pengikut Nabi saw yang murtad.
Hadits Nabi saw tentang akan datangnya suatu masa dimana para shahabat akan saling berselisih dalam harta dan kekuasaan, tidak berarti menggugurkan keadilan shahabat. Hadits itu hanya peringatan secara umum kepada kaum muslimin agar tidak ada saling benci dan memerangi karena urusan duniawi. Dan para shahabat terbukti dalam sejarah menjadi kelompok yang tidak terjerumus ke dalam peringatan Nabi saw tersebut. Kalaupun ada friksi di kalangan mereka yang sampai membawa pada peperangan, motifnya bukan dunia dan kekuasaan, tetapi agama. Dan itu tidak berlangsung selamanya, selalu saja sesudah konflik terjadi ishlah ditempuh, seperti pada peristiwa Jamal dan Shiffin. Untuk tema ini semua riwayat dan hadits harus dibaca secara utuh, jangan sepotong-potong seperti Syi’ah, sehingga menghasilkan kesimpulan yang keliru. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari misalnya berhasil membuktikan dalam syarahnya untuk Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bahwasanya para shahabat tidak terjerumus pada ancaman Nabi saw di atas.
Terkait sabda Nabi saw tentang larangan menyakiti ‘Ali, itu dikarenakan ‘Ali shahabat, bukan karena ‘Ali khalifah sesudah beliau. Dan itu sama dengan larangan Nabi saw berikut ini:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Siapa yang mencela shahabatku, maka baginya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya.[19]

[1] Jalaluddin Rakhmat dalam Pengantar untuk A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998, hlm. liv.
[2] Muhammad ‘Abdil-Karim ibn Abi Bakr Ahmad as-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal. Tahqiq: ‘Abdul-’Aziz Muhammad al-Wakil. Beirut : Dar al-Fikr, t.th., 1 : 146.
[3] Muhammad ibn Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wal-Muluk, 7 : 180-181
[4] Al-Ushul minal-Kafi no. 341.
[5] Lu`lu`atul-Bahrain, hlm. 387; Rijal an-Najasyi, hlm. 266
[6] Lu`lu`atul-Bahrain, hlm. 395-396
[7] Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna ‘Asyariyyah, hlm. 272-273. Rujukan hadits: Shahih al-Bukhari kitab ahadits al-anbiya bab qaulil-’Llah wat-takhadza Ibrahim khalilan no. 3349, bab wa-dzkur fil-kitab Maryam no. 3447; Shahih Muslim kitab al-jannah wa shifati na’imiha bab fana`id-dunya wa bayanil-hasyr yaumal-qiyamah no. 7380.
[8] Al-Fushulul-Muhimmah fi Ta`lifil-Ummah, hlm. 203
[9] Muqaddimah Mir`atul-‘Uqul fi Syarhi Akhbar Alir-Rasul 1 : 8.
[10] QS. al-Jumu’ah [62] : 11. Penafsiran seperti ini ditemukan dalam kitab-kitab tafsir Syi’ah, yaitu as-Shafi fi Tafsiril-Qur`an 2 : 701, Tafsir al-Qummi 2 : 367, Majma’ul-Bayan karya at-Thabarsi 5 :  287-289.
[11] Penafsiran seperti ini ditemukan dalam kitab-kitab tafsir Syi’ah, yaitu as-Shafi fi Tafsiril-Qur`an1 : 691, Tafsir al-Qummi 1 : 287, al-Mizan 9 :  226.
[12] Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna ‘Asyariyyah, hlm. 274. Rujukan hadits: Shahih Muslim kitab az-zuhd war-raqa`iq no. 7616.
[13] Al-Mustadrak al-Hakim kitab ma’rifah as-shahabah no. 4596.
[14] Sunan at-Tirmidzi kitab al-iman an Rasulillah bab ma jaa fi iftiraqi hadzihi al-ummah, no. 2565; Sunan Abi Dawud kitab as-sunnah bab fi luzum as-sunnah no. 4609
[15] QS. at-Taubah [9] : 100.
[16] QS. at-Taubah [9] : 117.
[17] QS. Al-Hasyr [59] : 8-9.
[18] QS. Ali ‘Imran [3] : 110.
[19] Al-Mu’jam al-Kabir at-Thabrani bab hadits ‘Abdullah ibn Abil-Hudzail ‘an Ibn ‘Abbas no. 12541. Hadits shahih li ghairihi (al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah no. 2340)

Amanah Bagi Pemuda Islam



imam Syafi’i pernah berkata, “Kalau seandainya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menurunkan hujjah kepada makhluk-Nya, selain surat ini saja (Surat Al-‘Ashr) sudah cukup bagi mereka. Karena di dalamnya mengandung empat unsur fundamental dalam memikul amanah risalah Islam, yaitu al-‘Ilmu (memahami Islam), al-‘Amalu bihi (mengamalkan), ad-Dakwatu ilaihi (mendakwakannya), ash-Shabru ‘alal adza fih (sabar dalam memikul amanah tersebut).
Surat ini sudah memadai bagi seorang hamba dalam memotivasi dirinya untuk berpegang teguh dengan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala, membangun keterikatan dirinya dengan keimanan, amal shalih, dakwah ilallah, dan bersabar, teguh dan tegar dalam menjalankan semua perkara tersebut. Syeikh Ibnu Baz ketika memberikan syarh surat al-‘Ashr ini mengatakan, “Orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran, mereka itulah orang-orang yang beruntung sedangkan selain mereka adalah orang-orang yang merugi”.
Amanah Pertama Memahami Islam dengan Benar
Tafaqquh Fiddin
Pemuda Muslim wajib memahami Islam dengan benar. Untuk mengerti agamanya ia harus memahaminya dengan pola pendekatan yang benar sebagaimana pemahaman yang mengawali perintisan Islam ini, pendahulu kita yang shalih (salafus sholih). Banyak orang yang menzhalimi Islam dengan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bukan termasuk ajaran Islam, dan mengeluarkan darinya apa yang termasuk prinsip ajaran Islam.
Sepanjang zaman ini ada orang-orang yang menyandarkan kepada Islam apa yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Telah banyak perkara aneh dan asing ke dalam Islam, padahal ia bukan dari ajaran Islam. Ajaran-ajaran semacam itu telah merusak keindahan dan kemuliaan Islam dan mengotori kejernihannya. Bid’ah-bid’ah tersebut terdapat di sana-sini dan orang-orang pun menerima saja sebagai bagian dari ajaran Islam sesuatu yang sama sekali tidak ada keterangan dan perkenan, restu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang mereka namakan dengan terma ‘bid’ah hasanah’ dan dengan semboyan bahwa “menambah kebaikan itu adalah baik”.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menekankan kepada umatnya agar tidak memberikan tambahan apa pun dalam agama Islam. Sebab segala sesuatu yang menerima tambahan berarti pula menerima pengurangan (dapat dikurangi), padahal sesuatu yang sempurna itu tidak menerima tambahan dan pengurangan. Sedang Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam ini sehingga ia tidak memerlukan tambahan dan pengurangan dari siapa pun.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu serta telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah (5) : 3).
Oleh karena itu Rasulullah SAW menekankan kepada umatnya melalui sabdanya :
“Jauhkanlah dirimu dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya semua perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ahmad).
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang tidak termasuk urusan agama, maka hal itu tertolak.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Tafaqquh fiddin (mendalami ajaran agama secara terperinci) di sini merupakan fardhu kifayah. Yakni memurnikan dan memperdalam ajaran Islam lalu diajarkannya kepada orang lain. Sehingga dengan demikian ia menjadi rujukan yang dapat memberikan fatwa, memecahkan persoalan-persoalan hukum (fiqh) dan mengajar. Di samping itu ada ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim untuk menjelaskan tujuan kehidupannya dan menerangi jalannya. Inilah yang dinamakan ilmul hal (hubungan manusia dengan Allah SWT). Manusia harus memiliki ikatan tertentu untuk memperdalam agamanya agar bisa meluruskan aqidah, ibadah dan akhlaknya, dan mengatur kehidupannya. Mengetahui batas-batas dan hukum Allah SWT. Yang diperintahkan dan yang dilarang, yang halal dan yang haram.
Maka, ia memiliki pondasi yang kuat untuk memahami Islam dari sumber-sumbernya yang murni. Jauh dari sikap berlebih-lebihan dan kecerobohan. Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dapat menjadikannya tersia-sia seperti sikap melampaui batas (ifroth) dan mengurang-ngurangi (tafrith).
Kita berharap agar pemuda Islam yang berkhidmah untuk kejayaan Islam itu unggul dalam pelajarannya dan menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik). Sehingga orang-orang memandang bahwa tugas agama itu tidak mengahambat pelajaran. Orang yang faqih dalam agama islam tidak identik dengan orang yang lemah dalam bidang akademik. Belajar agama, bukan mengurangi etos kerja. Kewajiban-kewajiban itu dilakukan secara berimbang. Yang satu tidak melampaui yang lain.
Belajar itu memang merupakan kewajiban. Semakin banyak bidang kehidupan yang dipelajari, semakin sadar betapa banyak aspek yang belum diketahuinya. Unggul dalam pelajaran merupakan kelaziman bagi para pemikul panji-panji dakwah Islam. Dan kita juga harus mempelajari segala sesuatu yang menjadi kelaziman bagi kita, baik yang berkaitan dengan waktu maupun aspek-aspek kehidupan yang lain.
Misalnya tentang hukum-hukum shalat dan thaharah, maka seorang pemuda harus mempelajarinya agar dapat melakukan shalat secara sah. Dan bila hendak menunaikan ibadah haji misalnya, maka ia harus membaca atau mempelajari risalah haji supaya mengetahui rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban agar hajinya sah. Namun tidaklah dituntut bagi semua orang dan semua muslim untuk mempelajari dan mendalami masalah haji, hanya saja bagi pemuda yang hendak melaksanakan ibadah haji hendaklah ia mempelajari risalah yang membicarakan hukum-hukm haji.
Dan ketika anda akan melaksanakan umroh, maka bacalah risalah yang membicarakan hukum-hukum dan aturan umroh. Katika anda menjadi seorang hartawan, maka pelajarilah dan fahamilah hukum-hukum zakat. Bila anda seorang ekonom atau pedagang, maka pelajarilah hukum-hukum dagang dan segala sesuatu yang berkaitan dengan prinsip-prinsip jual-beli, pembelanjaan uang, saham, riba, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan perdagangan. Segala sesuatu yang anda hadapi dalam kehidupan sehari-hari harus anda pelajari dan anda mengerti, seperti apa yang anda makan dan minum (ini menentukan terkabulnya doa), apa yang anda pakai, apa yang anda dengarkan, apa yang anda saksikan.
Pahami dan ketahuilah bahwa semua itu agar anda tidak terperosok ke dalam lembah haram sedang anda tidak mengetahuinya. Atau anda mengingkari orang lain yang melakukan sesuatu yang halal karena anda tidak mengerti, atau menganggap yang makruh itu haram, atau mempersepsikan dosa kecil sebagai dosa besar atau sebaliknya.
Pengetahuan seperti ini harus dimiliki, karena Islam adalah agama yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, tidak seperti agama-agama lain yang mengajarkan “Yakinlah dan percayailah sekalipun engkau buta (tidak tahu, tidak mengerti, tidak rasional) ! Atau : Pejamkanlah kedua matamu, kemudian ikutilah aku ! Atau : Kebodohan atau ketakwaan adalah sama saja”.
Tetapi Islam mengatakan :
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS. Yusuf (12) : 108).
Jadi, setiap orang yang mengikuti Rasulullah adalah khalifahnya atau penerus perjuangannya yang menyeru manusia kepada agama Allah berdasarkan hujjah yang nyata dan cahaya yang terang benderang.
Kita ingin mengetahui dan memahami Islam berdasarkan dalil dan keterangan yang jelas. Dan diantara hak seorang muslim ialah menanyakan dalil/hujjah/argumentasi bagi segala sesuatu yang meragukannya sehingga hatinya tenang dan batinnya puas. Ya, mengetahui hukum dengan dalilnya, karena ilmu itu adalah mengetahui kebenaran berserta argumentasi yang menguatkannya.
Kulit Islam Telah Di Robek-Robek
Maka, wajib bagi generasi muda Islam untuk memahami Islam, tidak hanya mengerti kulitnya saja. Sementara kulitnya saja sekarang tampak tercabik-cabik. Apalagi dalam beberapa periode yang lalu, kaum muslimin tidak memahami Islam secara mendalam. Sekolah-sekolah telah mencetak orang-orang yang tidak memahami Islam. Pemuda yang studi ke sebuah lembaga pendidikan hingga tamat, lebih banyak mengetahui sejarah Eropa daripada sejarah Islam. Mereka lebih mengenal Napoleon daripada Rasulullah dan lebih mengerti tentang revolusi Prancis daripada Perang Uhud.
Mereka tidak mengetahui sejarah hidup Rasulullah SAW melainkan hanya sepintas lalu. Mereka tidak mengerti sejarah para sahabat Rasulullah selain fitnah-fitnah dan peperangan yang terjadi di antara mereka. Bahkan mereka tidak mengerti apa itu Risalah Muhammad SAW, mana sisi agung kepribadian beliau, apa yang disumbangkan oleh beliau kepada dunia, apa keunggulan dan karakteristik generasi mereka, dan bagaimana pula perbedaannya dengan generasi-generasi sesudahnya. Mereka juga tidak mengenal kebudayaan dan peradaban Islam yang sempurna yang bersifat Rabbaniyah, insaniyah, akhlaqiyah, ‘lmiyah, ‘alamiyah, yang telah diciptakan oleh Islam ketika orang-orang Barat baru dapat melihat cahaya dari lubang jarum yang sangat kecil.
Kita wajib memahami Islam dengan benar dan menolak syubhat-syubhat (salah paham terhadap kebenaran) atau kesamaran yang dilontarkan orang lain terhadap Islam. Kita pahami Islam dengan baik dimuali dari diri kita sendiri dan keluarga kita sehingga kita dapat berjalan berdasarkan dalil dan hujjah yang nyata.
Kita perlu memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang agama kita. Tuhan kita, Rasul kita, syariat kita, quran kita, sejarah kita, umat kita, dan segala warisan (turats) kita. Sehingga kita dapat menyatakan dan membuktikan bahwa yang benar itu benar dan yang batil itu batil sekalipun orang-orang yang fasik tidak menyukainya.
Kita tidak cukup hanya dengan bertahan semata, tetapi kita harus mengerti tentang kedalaman Islam untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Yaitu orang beriman yang mendengki kita, orang kafir yang memenjarakan dan membunuh serta mengusir dari tempat tinggal kita, orang munafik yang merusak shaf kita dari dalam, hawa nafsu yang menggoda kita, syetan yang menjerumuskan kita. Kita harus ofensif (maju ke depan) bukan hanya defensif (bertahan).
Kita sudah sepatutnya berdakwah dan menyeru manusia berdasarkan pemahaman yang baik. Dai memanggil manusia dengan hujjah yang terang. Kita harus rajin membaca karena kita adalah ummat qiraah, sejak ayat Al-Quran turun pertama kali. Dan perintah yang pertama kali yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah kata perintah membaca yang diulang dua kali dalam firman-Nya.
Muslim yang benar, dia akan selalu membaca kitab sucinya bernama al-Quran (bacaan yang sempurna). Tetapi sayang, umat ini sekarang tidak senang membaca. Kaum muslimin dahulu gemar sekali membaca hingga menjelang ajalnya. Mereka berkata “ Kami takut kalau ada hari yang berlalu tanpa kami gunakan untuk membaca”. Bahkan ada salah seorang diantara mereka yang telah lanjut usia tetapi masih saja rajin mencari ilmu, lalu datang seseorang seraya bertanya kepadanya, “Kapankah anda menuntut ilmu ?. Lalu ia menjawab, “Hingga aku meninggalkan dunia ini”. Dan diantara kata-kata mutiara mereka ialah.
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga anda masuk ke liang kubur”
Para ulama salaf pernah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberikan apa-apa kepadamu sehingga kamu memberikan semua yan ada pada dirimu kepadanya. Semua tenagamu, semua waktumu, dan segenap dirimu secara hissiyan (lahir) wa ma’nawiyyan (batin).”
Tetapi, apakah dengan membaca ini sudah cukup? Cukuplah bagi kita mengerti dan memahami setelah belajar, lantas segala sesuatunya dianggap sudah sempurna dan sudah selesai? Apakah Islam hanya menghendaki kita menjadi orang yang pandai berfilsafat dan berpengetahuan saja? Tidak, tidak cukup hanya itu. Tetapi harus diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.*/bersambung tulisan Kedua